Pendidikan yang Merdeka
HAKIKAT pendidikan adalah memanusiakan manusia. Dua konsep (pendidikan dan kemerdekaan) ibarat dua sisi mata uang dan memiliki hubungan simbiotik mutualistik dimana yang satu dan lainnya saling tergantung. Kemerdekaan adalah sarana utama bagi keberhasilan pendidikan, demikian sebaliknya pendidikan prediktor efektif melawan penindasan.
Dalam pengamatan penulis, praktek pendidikan selama ini belum memerdekakan manusia. Banyak sekolah lebih kejam dari penjara.
Bapak Nadiem Anwar Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI merasakan perlunya memerdekakan pendidikan ini, Belum lama dilantik menjadi menteri, beliau mengatakan, “… Satu hal yang pasti, saya akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia…”. Diwujudkan oleh beliau melalui kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka.
Setelah berjalan beberapa tahun kebijakan merdeka belajar dan kampus merdeka tersebut, penulis belum dirasakan makna dari kemerdekaan pendidikan itu.
Sejarah membuktikan, kemerdekaan Indonesia dipersiapkan jauh sebelum kemerdekaan diproklamirkan oleh Soekarno dan Muhammad Hatta 17 Agustus 1945. Persiapan menuju kemerdekaan bermula dari membangun nasionalisme atau lebih dikenal dengan sebutan “Kebangkitan Nasional 1908” yang digagas oleh kaum terpelajar, terutama STOVIA dan kesadaran berbangsa, bertanah air dan berbahasa yang satu, yakni Indonesia, lebih dikenal dengan sebutan “Sumpah Pemuda 1928” yang juga digagas oleh para pemuda dan kaum terpelajar. Ketika itu WR Supratman menggesek biolanya sembari menyanyikan sebuah lagu berjudul “Indonesia Raya” yang mengandung pesan “Kemerdekaan Indonesia”.
Sejarah mencatat, “dimasa perjuangan kemerdekaan tanah air, Indonesia adalah satu-satunya bangsa di dunia yang sewaktu masih dijajah berani mendirikan sekolah bersistem nasional berhadap-hadapan dengan sekolah kolonial Belanda. Sekolah nasional tersebut antara lain: Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara di Yogyakarta, Pada tahun 1926 Indonesische Nijverheid School didirikan oleh Muhammad Syafei di Kayutanam Sumatera Barat dan di tahun 1870 Normal School didirikan oleh Willem Iskandar di Tano Bato Tapanuli Selatan. Ini sedikit bukti bahwa pendidikan sejak awal, di saat bangsa ini sedang dijajah telah berusaha mendorong lahirnya kemerdekaan Indonesia. Semua lembaga pendidikan nasional tersebut secara esensial membelajarkan aneka pengetahuan yang dikemas dalam budaya nasional dan bermental perjuangan kemerdekaan”, dikutip dari Daoed Yoesoef (2018) dalam bukunya “Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya”. Belakangan ini para pakar sependapat bahwa pendidikan merupakan pintu masuk bagi kemajuan sebuah bangsa, bangsa yang maju tentu saja bangsa yang merdeka. Dan sangat tepat dinyatakan bahwa kemerdekaan Indonnesia bertujuan antara lain mencerdaskan kehidupan bangsa, yakni kehidupan bangsa yang cerdas secara utuh, bukan hanya cerdas otaknya, melainkan juga cerdas jiwanya dan sehat raganya.
Selama 75 tahun Indonesia merdeka semestinya pembangunan pendidikan mengalami kemajuan, kenyataannya tidak demikian, mutu pendidikan di negeri ini masih sangat rendah. Diantara penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia menurut Daoed Yoesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III (1978-1983) antara lain pembangunan pendidikan tanpa konsep yang jelas (semestinya konsep dulu baru uang) atau mengurus pendidikan dengan kepala kosong sehingga anggaran pendidikan yang sangat besar (20%) dari APBN dan APBD tidak dimanfaatkan secara efektif dan efisien, selain itu masih banyak oknum di negeri ini mempermainkan pendidikan.
Kemerdekaan adalah sarana utama bagi keberhasilan pendidikan dan pembelajaran yang beradab dan bermartabat.
Sebuah ilustrasi, Rockefeller University di New York City, berdiri tahun 1901, sebuah universitas swasta ternama, terutama di bidang kedokteran, kimia biomedis, bioinformatika, dan fisika dengan dukungan 72 laboratorium telah menghasilkan 24 orang ilmuan penerima nobel. Selain sumber daya yang dimilikinya, faktor yang sangat mempengaruhi kesuksesan dan prestasi akademik universitas tersebut adalah kemerdekaan dalam pembelajaran (freedom of learning).
Sejak berdiri, Universitas Rockefeller telah memeluk struktur terbuka untuk mendorong kolaborasi antar disiplin dan sumber daya fakultas, berani mengambil “high-risk” dan “high-reward project”, tidak ada departemen formal, birokrasi dikesampingkan, para dosen dan peneliti diberi sumber daya, dukungan dan kebebesan secara tidak terbatas mengikuti kemanapun dan dimanapun ilmu itu berada. Pada jenjang pasca sarjana diterapkan, “Learning Science by Doing Science” berbasis adat dan budaya setiap peserta didik.
Harvard University sebuah universitas prestesius di dunia hingga saat ini juga melakukan hal yang sama, yakni memberikan kemerdekaan dalam pembelajaran, contoh kasus, jika dosen dinilai oleh mahasiswanya tidak mampu menyampaikan perkuliahan secara efektif, maka para mahasiswa meminta dosennya untuk memilih: dosen atau mahasiswa yang harus keluar meninggalkan ruang kelas”.
Hal yang sama “Kemerdekaan dalam Pembelajaran” juga diterapkan di Finlandia, sebuah negara yang dikenal memiliki mutu pendidikan terbaik dunia. misalnya tidak ada kurikulum dan evaluasi standar secara nasional, semua diserahkan pada kebebasan sekolah masing-masing dan sekolh memiliki kemerdekaan untuk melakukan berbagai inovasi tanpa merasa terganggu oleh regulasi. Awal reformasi pendidikan di Finlandia adalah menata kembali aturan-aturan bidang pendidikan.
Kemerdekaan dalam pendidikan dan pembelajaran bermula dari sebuah asumsi atau pandangan bahwa pengetahuan adalah non-objektif, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu.
Belajar adalah penyusunan atau membentuk pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktifivitas kolaboratif, refleksi dan interpretasi. Sementara mengajar adalah menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Akibatnya, siswa memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan presfektif dan interpretatif. Dan sukses mengajar ditentukan oleh kesiapan siswa untuk belajar atau readness of learning.
Tujuan pembelajaran yang memerdekakan menekankan pada belajar bagaimana belajar; menciptakan pemahaman baru yang menuntut aktivitas kreatif-produktif dalam konteks nyata (kontektual) yang mendorong siswa untuk berpikir, memikir ulang dan mendemonstrasikan.
Kemerdekaan dalam pembelajaran memerlukan penataan lingkungan belajar dalam suasana kondusif sekalipun terlihat tidak teratur, tidak pasti, dan semeraut. Sebuah asumsi, orang belajar harus bebas (freedom of learning). Hanya di alam yang penuh kebebasan tersebut si belajar dapat mengungkapkan makna yang berbeda dari hasil interpretasi terhadap segala sesuatu yang ada di dunia nyata. Kebebasan menjadi unsur yang esensial dalam lingkungan belajar.
Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai. Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa adalah subjek, bukan objek, Mereka harus mampu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar. Hal yang sangat penting bagi pembelajaran yang memerdekakan itu dimana kontrol belajar dipegang oleh diri siswa sendiri.
Sebaliknya, praktek pembelajaran yang tidak memerdekakan selama ini tampak dimana si belajar dihadapkan dan ditetapkan pada aturan yang jelas dan ketat. Pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin, bahkan kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan atau kemampuan dikategorikan sebagai perilaku yang pantas diberi hadiah. Dan ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa dipandang sebagai objek yang harus berperilaku sesuai aturan. Kontrol belajar dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa itu sendiri.
Berbeda dengan praktek pembelajaran yang sering terjadi dimana sebagian besar peserta didik belum memperoleh kemerdekaan dalam pembelajaran. Meminjam istilah dari Bernard Shaw, “Sekolah tempat menuntut ilmu lebih kejam ketimbang penjara”, dikutip dari Naomi (1999) dalam buku “Menggugat Pendidikan”.
Strategi pembelajaran yang memerdekakan, menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan ke bagian. Proses pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan siswa. Aktivitas belajar lebih menekankan pada ketrampilan berfikir kritis, analisis, membandingkan, generalisasi, memprediksi, dan menyusun hipotesis.
Pelaksanaan evaluasi dalam pembelajaran yang memerdekakan menekankan pada proses penyusunan makna secara aktif yang melibatkan ketrampilan terintegrasi dengan menggunakan masalah dalam konteks nyata.
Evaluasi menggali munculnya berfikir divergen, pemecahan masalah secara ganda atau tidak menuntut satu jawaban benar karena pada kenyataannya tidak ada jawaban salah, yang ada justru pertanyaan yang salah.
Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata, artinya evaluasi lebih menekankan pada ketrampilan proses dalam kelompok (Penulis, Dosen FKIP UNTAN)