Belajar dan Berproses dalam Menulis
Tulisan ini pertama dibuat beberapa tahun lalu, namun semoga secara semangat masih relevan dengan kondisi terkini. Saya mendapatkan sebuah pengalaman berharga yang mengingatkan pada kasus-kasus yang pernah ditemui selama menangani mahasiswa. Penulis juga teringat nasihat dari Aa Gym tentang menyikapi takdir. Beliau sering menyampaikan pentingnya berbaik sangka kepada Tuhan lewat setiap peristiwayang dihadapi. Kejadian tersebut adalah kekeliruan penulisan nama pada salah satu artikel opini di media cetak. Penulis menyadari bahwa sebagai manusia, bisa saja terjadi kesalahan. Faktor kelelahan yang berujung pada ketidaktelitian bisa menjadi penyebab. Atau ada fakor lain yang menyebabkan kurang teliti dalam menyunting sebuah tulisan. Lalu, bagaimana hubungannya dengan mahasiswa? Tulisan ini dibuat untuk memberikan pandangan penulis mengenai pentingnya penyuntingan dalam menyelesaikan tugas perkuliahan.
Selama menggeluti dunia akademik di Program Studi Hubungan Internasional FISIP UNTAN sejak 2016, penulis menemukan beberapa kasus tulisan setengah matang yang dikumpulkan sebagai tugas. Setengah matang dalam arti mereka sudah menulis tugas,tapi hanya untuk memenuhi kewajiban saja. Tulisan seperti ini bahkan dibuat oleh mahasiswa yang sudah berada di semester empat ke atas. Penulis juga menemukan keluhan yang sama dari beberapa kolega, baik yang sudah lebih lama mengajar maupun yang baru. Hal terpenting bagi sebagian mahasiswa adalah tugas selesai dan dikumpulkan, tanpa memperhatikan kaidah penulisan, seperti penulisan tanda baca, kata depan, huruf kapital, kalimat efektif, dan istilah asing. Hal-hal ini sering tidak menjadi perhatian. Belum lagi kalau kita bicara substansi tulisan tersebut. Akan panjang kisah mengenai substansi karena akan bersinggungan dengan pembahasan mengenai penguasaan materi dan juga plagiarisme. Sehingga dalam tulisan ini penulis hanya memfokuskan pada proses penyuntingan dalam tulisan mahasiswa.
Penulis sering bertanya-tanya, dari mana benang kusut tulisan-tulisan setengah matang tersebut. Apakah murni hanya kesalahan mahasiswa saja? Karena mahasiswa dianggap aktor yang bertanggung jawab besar terhadap pengembangan diri sendiri sebagai kaum intelektual. Namanya juga maha. Namun, ternyata ada temuan yang menarik ketika ditelusuri melalui wawancara kecil-kecilan dengan beberapa mahasiswa yang tulisannya setengah matang. Mereka tidak sadar atau bisa dikatakan tidak tahu kalau itu kurang tepat. Sering ditemukan misalnya kata depan “di-“ yang terbalik-balik penggunaannya. Ini contoh kasus yang paling sering penulis temui, selain masalah penulisan huruf kapital yang keliru.
Ada juga yang berpendapat bahwa faktor input yang masuk ke kampus kami kebanyakan berasal dari daerah atau lulusan sekolah dengan level menengah. Menurut penulis ini juga klaim yang tidak sepenuhnya benar. Gatot Sutapa dalam pelatihan Peningkatan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional (PEKERTI), yang diadakan oleh Universitas Tanjungpura bagi dosen-dosen muda, menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses. Beliau mencontohkan kisah mahasiswa baru Pendidikan Bahasa Inggris yang belum bisa berbahasa Inggris, tapi setelah melalui proses belajar para lulusan harus mampu menjadi guru Bahasa Inggris. Lalu, apakah kemudian proses selama di sekolah itu yang kurang tepat? Argumentasi ini juga menurut penulis tidak sepenuhnya benar. Bukankah selama sekolah bertahun-tahun kita diajari berbahasa Indonesia lisan dan tulisan selama hampir 12 tahun? Selama proses itu penulis yakin ada peningkatan pengetahuan yang terjadi dari sejak kelas 1 SD hingga lulus sebagai calon mahasiswa. Atau mungkin penyelenggara pendidikan tinggi juga perlu mawas diri mengevaluasi kualitas proses pembelajaran yang berbasis pada tulisan ilmiah.
Kita kembali ke pembahasan mengenai kegiatan menulis di tingkat pendidikan tinggi. Mahasiswa pada tahap akhir dituntut untuk mampu menghasilkan karya berupa skripsi. Produk tulisan tersebut tentu harus melalui proses penelitian dan berpikir yang mereka lakukan. Seorang kolega bernama Ireng Maulana pernah berkisah sebuah nasihat kepada mahasiswa tingkat akhir. Intinya beliau berpesan bahwa skripsi adalah mahakarya para mahasiswa sehingga mesti dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Maksudnya mahasiswa harus bisa menghasilkan produk tulisan yang dapat dibanggakan kepada diri sendiri, keluarga, dan penerus mereka. Sering kita dengar dan baca kalimat indah dari Pramoedya Ananta Toer: “Menulislah, karena tanpa menulis Engkau akan hilang dari pusaran sejarah.”
Untuk mencapai tahap mahakarya berupa skripsi tentu mahasiswa harus berproses dari sejak awal masuk universitas. Kita terjemahkan secara bebas berproses itu dengan kata latihan. Latihan menulislah yang menjadi kuncinya. Ketika sudah terbiasa dengan menulis tugas-tugas yang diberikan oleh para dosen, mereka sudah berinvestasi untuk modal menulis tugas akhir. Pada tahap menulis ada proses yang sering dilupakan oleh para mahasiswa, yaitu menyunting.
Salah satu pesan yang sampai sekarang masih teringat jika hendak menulis adalah: “Seorang penulis harus siap untuk menyunting”. Pay Jarot Sujarwo yang menyampaikan pesan tersebut dalam kelas menulis yang pernah saya ikuti. Trik lain dari beliau adalah berikan tulisan kita kepada orang lain untuk dibaca dan diberikan masukan. Orang lain akan lebih objektif dalam menilai tulisan kita. Penulis juga teringat pesan Hikmawan Saifullah, dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, yang memberikan nasihat untuk menyempatkan melakukan suntingan setelah menulis. Beliau berpesan hal sederhana tentang penyuntingan. Jika kita sudah selesai menulis, silahkan istirahat sejenak. Lalu, lakukan hal lain yang menghibur. Setelah istirahat sekian waktu, baca lagi tulisan tersebut untuk menyunting kata, kalimat, atau paragraf yang keliru. Karena pada kesempatan pertama kita mungkin saja melewatkan hal yang bermasalah tersebut.
Besar harapan tulisan ini dapat menambah kesadaran kita, khususnya mahasiswa, untuk melakukan proses penyuntingan. Sebuah pelajaran yang juga bermanfaat menjadi peringatan bagi diri sendiri untuk lebih teliti dalam menulis. Penulis menyadari bahwa menulis adalah proses belajar. Hal yang juga masih dijalani sampai sekarang. Belajar dengan baik harus dilakukan untuk menghasilkan manusia Indonesia yang lebih baik.
Penulis : Adityo Darmawan Sudagung
Pengajar Hubungan Internasional FISIP Universitas Tanjungpura
[learn_press_profile]