Ilmuan Berakhlak Mulia Tidak Menjawab Semua Pertanyaan
Pengalaman penulis mengikuti dialog dan debat, baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui media sosial, nara sumber selalu menjawab apa saja yang ditanyakan kepadanya, bahkan yang tidak ditanyakanpun dijawabnya.
Pengalaman penulis berbeda dari pengalaman, Rahmi Dianty, dr, M.Ked. Klin, Sp. M.K, anak ke-2 penulis yang pada saat ini sedang studi doctor riset (S3) di Osaka University Jepang. Rahmi (panggilan keluarga Dede) sering menceritakan pengalaman inspiratif mengikuti perkuliahan dari para profesor di negara matahari terbit, diantara pengalaman inspiratif tersebut adalah dosen memberi kesempatan kepada mahasiswanya untuk bertanya, mereka para mahasiswa secara bergantian bertanya, namun pertanyaan yang disampaikan para mahasiswa tidak selalu dijawab melainkan hanya dicatat. Dosennya mengatakan, “pertanyaan Anda sangat bagus, tetapi saya (dosen) tidak menjawabnya. Pertanyaan yang bagus ini akan saya sampaikan kepada kolega dosen yang lebih ahli atau lebih menguasai materi yang Anda tanyakan. Menurut puteri penulis (Rahmi Dianty), materi pertanyaan yang disampaikannya masih sangat umum dalam bidang Mikro Biologi Klinis, tapi dosennya tetap saja tidak mau menjawab pertanyaan dan meminta dosen koleganya yang lebih ahli dalam bidang keilmuan tersebut untuk memberikan jawaban. Pelajaran yang tidak terlupakan bagi puteri penulis dan/atau mahasiswa-mahasiswa lainnya terhadap dosen mereka adalah karakter rendah hati, tidak sombong atau tawaduk membuat mahasiswa bertambah hormat kepada dosennya. Bagaimana sikap dosen di tempat kita jika ditanya mahasiswanya dalam perkuliahan?. Jawab sendiri.
Kemuliaan dan hebatnya seseorang tidak ditentukan karena pandainya mereka menjawab suatu pertanyaan. Ronald Reagan memenangkan debat presiden Amerika Serikat (AS) dan mampu mengalahkan Jimmy Carter seorang kandidat presiden AS yang dikenal sangat sempurna dan kuat. Kemenangan Reagan atas Carter tidak ditentukan dari kualitas jawaban atas pertanyaan lawannya pada saat debat, melainkan ditentukan oleh sikap tersenyum di setiap memulai memberikan jawaban atas pertanyaan lawannya.
Syekh Ahmad Atailah (1995) dalam kitabnya “Al-Hikam” menyatakan bahwa, “Barang siapa melihat orang yang suka menjawab segala sesuatu yang ditanyakan kepadanya, menceritakan segala sesuatu yang pernah dilihatnya, menyebut semua yang pernah diketahuinya, perbuatan seperti itu termasuk perbuatan orang bodoh atau tolol”.
Jalaluddin Rumi (2016) seorang ahli tasawuf dalam kitabnya “Fihi Ma Fihi” menyatakan bahwa ‘Tidak menjawab merupakan sebuah jawaban”.
Kisah lain, para akademisi pasti mengenai seorang ilmuan Indonesia yang bernama Prof. Dr. Andi Hakim Nasution. Beliau adalah dosen dan kemudian dipercaya menjabat sebagai Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB). Jasanya sangat besar dalam memajukan IPB almamaternya dan pendidikan tinggi di Indonesia pada umumnya, dikenal sebagai seorang inovator bidang pendidikan, diantara karyanya yang masih digunakan hingga saat ini adalah Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru.
Izinkan penulis, menceritakan sedikit kisah studi doktornya terutama pada saat beliau ujian disertasi doctor. Pada saat itu sangat sedikit putera Indonesia yang berkesempatan memperoleh pendidikan jenjang doktor dan berprestasi gemilang di sebuah perguruan tinggi prestesius di luar negeri. Prestasi akademik dengan pujian tersebut membawa nama Indonesia dikenal di belahan dunia.
Pada saat sidang ujian disertasi (doctor), beliau diuji oleh empat orang profesor, terdiri dari tiga dosennya dan satu orang dosen tamu dari luar kampusnya. Setelah sidang ujian dibuka oleh pimpinan sidang, bapak Andi Hakim Nasution diminta mempresentasikan secara singkat disertasi yang ditulisnya. Setelah itu, dosen penguji secara bergantian menyampaikan pertanyaan ujian dan semua pertanyaan tersebut dijawab beliau dengan jawaban sempurna.
Tibalah pada penguji ke empat dari dosen tamu, ia menyampaikan satu pertanyaan, dan pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab oleh bapak Andi Hakim Nasution. Setelah itu, sidang ujian diskorsing (istirahat), dosen penguji bermusyawarah untuk menentukan hasil ujian, sementara bapak Andi Hakim Nasution diminta menunggu di satu ruangan. Di ruangan itulah beliau menangis mengingat ada satu pertanyaan dari dosen tamu yang tidak bisa dijawabnya. Ia takut tidak lulus ujian disertasi tersebut. Saat itu terbayang wajah ibu/bapaknya yang nun jauh di desanya (Medan), teringat koleganya di Indonesia, dalam hatinya berkata, “Betapa malunya diri, jika gagal menempuh ujian disertasi ini”.
Waktu skorsing dicabut, bapak Andi Hamin Nasution diminta masuk kembali ke ruagan sidang dalam posisi berdiri menghadap para dewan penguji. Ketua dewan penguji membacakan berita acara ujian disertasi, menyatakan bahwa saudara Andi Hakim Nasution dinyatakan “LULUS” dengan nilai “PUJIAN”.
Sebelum ujian disertasi ditutup, Dr. Andi Hakin Nasution meminta izin kepada ketua sidang seraya mengatakan, “Bolehkah saya bertanya kepada bapak penguji ke empat (dosen tamu) dimana pertanyaan beliau tidak bisa saya jawab dalam sidang ujian disertasi tadi?”. Ia diizinkan bertanya, “Bapak, saya tidak mengerti terhadap pertanyaan yang bapak sampaikan, bolehkan bapak menjelaskan secara singkat jawaban atas pertanyaan tersebut?”. Dosen penguji tamu terebut menjawab, “Jangankan Anda, Sayapun tidak tahu jawabannya!”. Dari sejak awal saya menyaksikan sidang ini, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa saudara Andi Hakim Nasution adalah seorang doctor baru yang sangat hebat, memiliki ilmu pengetahuan yang sangat luas dan mendalam. Saya ingin saudara menjadi seorang intelektual yang memiliki integritas atau memiliki karakter (akhlak mulia), saya harus menguji kejujuran saudara dengan memberikan pertanyaan dimana sayapun tidak tahu jawabannya. Saudara tidak menjawab berarti saudara adalah intelektual atau ilmuan jujur, tentu berbeda jika tadi saudara menjawab pertanyaan saya, pertanda saudara tidak jujur.
Tidak menjawab semua pertanyaan adalah ciri dari ilmuan berintegritas atau berkarakter. Ilmuan yang dimaksud pada opini ini termasuk para ulama, kaum cendekiawan, intelektual dan akademisi.
Penulis Dr Aswandi Dosen FKIP UNTAN
[learn_press_profile]