Melawan Rasa Takut
Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura, menyampaikan sebuah pidato berjudul, “Siapa Berani, Dia Menang, Siapa Takut, Dia Kalah”.
Bemodal keberanian, maka lahirlah bangsa ini. Dengan kata lain, apabila bangsa ini tidak memiliki pahlawan pemberani, barang kali bangsa ini belum merdeka atau masih dijajah. Selanjutnya, dimasa depan keberanian atau tidak takut melakukan inovasi dan adaptasi menjadi kunci untuk bertahan hidup, demikian sebaliknya.
Rasa takut menghambat kemajuan dan pertumbuhan. Mereka pemilik rasa takut pada umumnya bersikap kurang kreatif dan inovatif atau tidak berani memulai sesuatu. Orang bijak mengatakan, “Jangan takut hidupmu tidak berakhir, namun takutlah hidupmu tidak bermula”. Barangkali mereka lupa atau tidak tahu bahwa tidak ada orang sukses dalam hidup ini yang takut terhadap kesalahan dan kegagalan dari apa yang diperbuatnya.
Selama ini diyakini bahwa rasa takut menyebabkan seseorang sulit dan ragu mengambil keputusan atau bertindak, dan tidak jarang akhirnya mereka gagal dalam hidupnya. Faktanya tidak hanya demikian, rasa takut setelah mendapat penguatan dengan spontan mendorong seseorang dan sekelompok orang bertindak anarkis di luar kemanusiaan.
Apakah kita berani merubah paradigma berpikir bahwa “Orang salah tidak dihukum, yang dihukum adalah orang yang melakukan kejahatan”. Bahkan pengadilan sesat menghukum banyak orang tidak bersalah. Sebuah adegium mengatakan, “Membebaskan seribu nara pidana lebih baik dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Barangkali kesalahan kita selama ini karena seringnya menghukum orang bersalah.
Fakta lain, menciptakan rasa takut sering kali digunakan oleh orang tua ketika mengasuh anak-anaknya, digunakan guru ketika mendidik dan mengajar muridnya, digunakan para penguasa ketika mempengaruhi pengikutnya, dan digunakan banyak pihak melahirkan atmosfir ketakutan.
Telinga kita sering mendengar orang tua mengatakan “Jangan” kepada anakanaknya. Ketika mereka mengasuh anak-anaknya juga sering keluar dari mulutnya, “Awas Ada Hantu”, kebetulan anak-anaknya takut polisi dan takut disuntik dokter, Orang tuanya menggunakan kata-kata “Nanti Ayah/Ibu laporkan ke polisi atau Ayah/Ibu bawa kamu ke dokter”, dan seterusnya.
Guru juga ada yang demikian, atas nama menegakkan disiplin, siswa diajari menikmati rasa takut.
Ketika anaknya pulang sekolah, orang tuanya bertanya kepada anak-anaknya, “Apakah kalian senang belajar hari ini?”. Jika anaknya menjawab, “Tidak Senang Ibu!”, berarti ada masalah serius dalam proses pendidikan anak yang harus segera diselesaikan. Ini contoh kasus di Jepang, bukan di sini.
Pemimpin sering kali menggunakan kekuasaan memaksa (coercive power) untuk menunjukkan kesombongannya bahwa ia mampu menciptakan rasa takut pada pengikutnya, dari mulut harimaunya keluar kalimat “Awas, Aku Pecat Kamu”.
Kompas, 30 Oktober 2020 memuat hasil survei Indikator Politik Indonesia pada 23-30 September 2020 yang menyimpulkan bahwa “sebanyak 21,9% responden setuju saat ini mereka merasa takut menyatakan pendapat. Hukum berulang kali digunakan untuk menjerat para pengkritik telah melahirkan atmosfir ketakutan mengakibatkan banyak orang takut bersuara menyampaikan pendapat padahal kebebasan berpendapat merupakan salah satu esensi dari demokrasi. Data dan fakta di atas cukup menjadi bukti bahwa demokrasi di negeri ini semakin terancam dan mengkhawatirkan”.
Rasa takut cenderung mempengaruhi tindakan negatif seseorang. Oleh karena itu, rasa takut harus dilawan.
Melawan rasa takut wajib dilakukan, karena rasa takut yang tidak terkelola dengan baik membuat seseorang atau sekelompok orang menjadi pendendam, dan bahkan bertindak di luar batas kemanusiaan. Faktanya, Fahrizal dengan rasa bangga karena telah membunuh ayah, ibu, dan empat orang saudara kandungnya (Jawa Pos, 03 Nopember 1998). Yusuf dan abangnya Marsi membunuh ayah kandungnya Bizar (GAMMA, 05 September 1999), mahasiswa/i dan masyarakat beramai-ramai menurunkan Soeharto dari jabatan presiden RI setelah 32 tahun berkuasa di negeri ini, masih banyak kasus serupa yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu di sini.
Setelah dipelajari secara mendalam, Fahrizal seorang anak yang sehari-hari dikenal lugu dan pendiam, setelah remaja melakukan kekerasan kepada orang tua dan saudara-saudara kandungnya di luar kemanusiaan. Yusuf dan abangnya Marsi juga demikian, yang saat kecil dikenal santun, setelah dewasa berubah menjadi kasar dan biadab. Masyarakat, khususnya mahasiswa/i yang sangat hormat dan patuh terhadap Soeharto, di awal era reformasi beramairamai melawan, memaki, menghina presidennya, barangkali konflik suku yang terjadi di daearh ini beberapa tahun lalu juga sebuah pelampiasan atau perlawanan terhadap rasa takut.
Sikap kontroversial bersifat destruktif itu terjadi sebagai sebuah bentuk melawan rasa takut yang sudah terpendam lama tanpa pernah diupayakan dan dikelola dengan baik untuk keluar dari zona pikiran alam bawah sadar mereka.
Dan mereka berani (tidak takut) kepada seseorang dan/atau sekelompok orang yang dulunya sangat ditakutinya karena mereka merasa sudah memiliki kekuatan melawan, baik karena kekuatan yang dimilikinya sendiri dan/atau dipersepsi oleh mereka ada pihak tertentu yang tentu saja memiliki kekuatan mendukung sikap mereka, padahal belum tentu apa yang mereka persepsikan itu benar.
Kesalahan yang sering terjadi dalam mengambil keputusan akibat dari kesalahan memahami, mempersepsi rasa takut yang diciptakan sendiri. Contoh kasus, barangkali ketakutan terhadap maraknya demonstran yang bermaksud menyampaikan pendapat di muka umum tidak dilarang oleh undang-undang dipersepsi oleh pihak tertentu sebagai tindakan menjatuhkan pemerintahan atau makar. Persepsi yang diciptakan sendiri belum tentu benar, namun mempengaruhi tindakan represif atas nama menjaga ketertiban umum.
Harun Yahya seorang pakar berpikir berkebangsaan Inggris mengatakan orang melihat tidak dengan matanya, mendengar tidak dengan telinganya, merasa tidak dengan lidahnya, karena mata, telinga dan lidah itu bukan sumber utama dari pengamatan seseorang. Sumber utama dari pengamatan itu adalah pikiran, dan melalui sinyal ekektrik yang ada dalam pikiran tersebut tersambung ke mata, telinga dan lidah seseorang. Contoh kasus apabila pola pikir seseorang meyakini bahwa demonstran itu melakukan anarkis dan kekerasan lainnya, maka yang terlihat oleh matanya dan terdengar oleh telinganya seperti apa yang ada dalam pikirannya, pikiran mereka sudah tersandra, mereka sudah kehilangan petunjuk dari Allah SWT sehingga sulit menemukan sebuah kebenaran.
Melawan rasa takut itu, harus dimulai dari mengetahui sumber rasa takut itu.
Sebagian ahli berpendapat bahwa rasa takut itu bersumber dari diri kita sendiri.
Franklin D. Roosevelt, pada Pidato Pelantikan 4 Maret 1933 menyatakan “Satu satunya hal yang harus kita takuti adalah rasa takut itu sendiri”. John F. Kennedy menambahkan “Kita jangan pernah bernegosiasi atas dasar rasa takut, tetap kita jangan pernah takut bernegosiasi”. Rosevelt menegaskan bahwa rasa takut itu diciptakan oleh diri seseorang. Oleh karena itu melawan rasa takut juga semestinya dilakukan oleh diri sendiri, antara lain bersikap objektif, transapan dan akuntabel.
Almarhum Munir, pegiat HAM suatu ketika mengatakan “Yang saya takuti adalah rasa takut itu sendiri”. Kiat beliau melawan rasa takut antara lain kemanapun dan kapanpun ia bepergian selalu membawa kait kapan dalam tas ransilnya.
Melawan rasa takut melalui pendekatan hukum dapat saja dilakukan agar memberikan “Efek Jera”, namun belum cukup, akan lebih efektif dan efisien jika dilakukan melalui proses pendidikan yang baik dan benar, yakni tidak melakukan proses pendidikan, pengajaran, pengasuhan menggunakan kekuatan rasa takut (coercive power) yang justru akan menimbulkan ketidaknyamanan dan ketidakberdayaan bersifat permanen
Oleh Dr Aswandi Dosen FKIP UNTAN
[learn_press_profile]