Pendidikan Multikultural
ALHAMDULILLAH, kita dilahirkan di sebuah negeri, ibarat sebuah rumah besar yang terdiri dari satu ruang tamu dan beberapa kamar etnisitas, baik etnisitas berupa agama, suku dan unsur etnisitas lainnya di dalamnya. Di dalam kamar masing-masing, setiap etnisitas berimprovisasi, berinovasi dan berkreasi melahirkan inovasi untuk memperkuat kehidupan yang lebih baik bagi individu dan kelompoknya, namun ketika mereka berada di ruang tamu dimana tertulis semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, semua harus berusaha untuk membahagiakan semua orang yang ada di rumah besar Indonesia.
Charles Fourier, seseorang socialist Prancis mengatakan, “Kami mau membangun satu dunia yang di dalamnya setiap orang hidup bahagia”, dikutip dari Daoed Yoesoef (2006)dalam bukunya “Dia dan Aku”.
Pernyataan Fourier tersebut di atas sering penulis gunakan untuk memotivasi dan menyemangati semua orang yang ingin menjadi pemimpin. Silakan Anda menjadi pemimpin di dunia ini atau silakan Anda menjadi seorang pemimpin di negeri ini: menjadi presiden, menjadi gubernur, menjadi bupati/walikota, menjadi rektor dan menjadi apa saja untuk membahagiakan semua orang yang ada di dalamnya. Namun hingga saat sangat disayangkan, sedikit sekali diantara pemimpin tersebut membahagiakan semua orang tanpa memandang etnisitas dan kelompoknya. Faktor oligarsi atas nama loyalitas inilah menjadi prediktor utama penyebab tidak maju-majunya bangsa ini.
Sejarah peradaban manusia membuktikan eksistensi atau keberadaan dan kemajuan suatu bangsa dari sejak zaman barbar di masa lalu hingga zaman modern sekarang ini karena rakyatnya hidup “Nyaman dalam Keberagaman”, sekali lagi hidup nyaman dalam “Bhinneka Tunggal Ika”, demikian sebaliknya, negara yang tidak maju dan terbelakang, bahkan punah dari bumi ini karena rakyatnya merasa tidak nyaman hidup dalam keberagaman.
Dikatakan, “Jika suatu peradaban tetap dapat bertahan, maka kita harus mencapai puncak ilmu tentang hubungan antar manusia agar bisa hidup bersama dalam dunia yang sama dalam perdamaian”, demikian seorang negarawan FD. Rosevelt. Ditambahkan, “Kita harus belajar untuk hidup bersama sebagai saudara atau binasa bersama sebagai orang-orang bodoh dan tidak ada diantara kita yang lebih pintar dari pada kita semua secara keseluruhan”, demikian David Lewis. Orang-orang menjadi kesepian karena mereka membangun tembok, bukan membangun jembatan.
Dengan bermodalkan multikultural atau “Bhinneka Tunggal Ika”, semestinya bangsa ini telah menjadi bangsa yang berkemajuan. Kenyataannya, sudah 74 tahun bangsa ini mereka, namun masih banyak rakyat yang belum sejahtera hidupnya, kualitas SDM masih perlu ditingkatkan, kehidupan bermasyarakat belum sepenuhnya merasakan aman dan nyaman.
Yudi Latif (2011) dalam bukunya “Negara Paripurna” mengatakan bahwa “Mayoritas penduduk masih percaya pada Tuhan, tetapi moralitas Ketuhanan itu sendiri masih terlepas dari praktik politik. Kehidupan politik disuburkan oleh nilai-nilai rendah, kurang menumbuhkan nilai-nilai luhur”.
Pluralistik, multikulturalistik dan keberagamaan agama sebagai nikmat dan rakhmat dari Allah SWT yang semestinya wajib disyukuri belum menjadi landasan dalam kehidupan bersama, benturan atau konflik antar etnis masih sering terjadi, sekalipun berbagai model resolusi konflik telah ditawarkan, bahkan riset membuktikan bara api konflik dan relasi antar etnis di kalangan generasi muda atau generasi penerus bangsa ini masih bermasalah. Olaf Schuman mengingatkan bahwa “Konflik bernuansa agama jangan sampai terjadi, karena konflik bernuansa agama tersebut adalah yang konflik yang sangat sulit diselesaikan”.
Upaya membangun kerukunan umat beragama selama ini, baru sebatas pada permukaannya, bersifat seremonial dan penanaman nilai pluralistik masih bersifat semu, belum terinternalisasi ke dalam pikiran, sikap dan perilaku setiap anggota masyarakat.
Menurut penulis, internalisasi nilai persatuan akan efektif dilakukan melalui pendidikan multikultural.
Pendidikan multikultur merupakan proses yang tujuan utamanya adalah mengubah struktur sosial masyarakat melalui pengubahan kultur sekolah yang diisi oleh beragam etnis maupun kelas sosial (Alkin, 1992).
Ada 5 (lima) dimensi pokok dalam pendidikan multikultur, yakni: (a) content intergration, (b) knowledge construction process, (c) prejudice reduction, (d) equity pedagogy, dan (e) empowering school culture (Banks, 1989; 1991; 1993; 1997).
Integrasi isi (content intergration) berkenaan dengan upaya-upaya guru untuk memasukkan informasi ke-etnis-an dalam pembelajaran, seperti memberikan contoh, data, maupun informasi dari berbagai kebudayaan ras atau etnis sebagai ilustrasi dalam menjelaskan konsep-konsep kunci dari mata pelajaran yang diajarkan.
Isi pesan multikultur ini masuk dalam semua mata pelajaran, meskipun mungkin untuk mata pelajaran tertentu seperti IPA maupun matematika tidak pada semua pokok bahasan. Pada matematika misalnya, anak dari berbagai etnis dapat dikenalkan etnomatemtika dan anak dididik untuk saling menghargai perbedaan konsep matematika dengan anak dari etnis yang berbeda dengan dirinya. Pada mata pelajaran IPS terlebih-lebih lagi Kewarga-negaraan, tentu isi pesan multikultur menjadi lebih memadai.
Proses konstruksi pengetahuan (knowledge construction process) berkenaan dengan prosedur bagaimana guru membantu siswa memahami materi pembelajaran dan bagaimana posisi individual dan kelompok etnis/ras dan kelas sosial berpengaruh terhadap upaya memahami materi tersebut. Dalam kaitan dengan proses konstruksi pengetahuan ini, Slavin (1985) menyarankan untuk menggunakan model pembelajaran kooperatif (cooperative-learning).
Dimensi pengurangan prasangka sosial (prejudice reduction) dalam pendidikan multikultur berkenaan dengan karakteristik sikap rasial siswa dan strategi-strategi yang dapat digunakan untuk membantu mereka menumbuhkan sikap dan nilai-nilai yang lebih demokratis. Strategi pembelajaran yang mungkin dapat digunakan adalah strategi-strategi pembelajaran yang lebih banyak menekankan aspek kerjasama antar etnis, dan penghargaan terhadap perbedaan etnis serta analisis nilai atau internalisasi nilai.
Dimensi keadilan pembelajaran (equity pedagogy) berkenaan dengan upaya guru memfasilitasi berbagai kelompok etnis atau kelas sosial agar mendapat kesempatan yang sama dalam perolehan pembelajaran. Diskriminasi pembelajaran tidak boleh terjadi karena semua anak harus mendapat peluang yang sama untuk mendapatkan pembelajaran sesuai dengan kapasitas dirinya.
Sedangkan dimensi pemberdayaan kultur sekolah (empowering school culture) berkenaan dengan proses merestrukturisasi kebudayaan dan organisasi sekolah agar siswa dari berbagai etnis dan kelas sosial yang beragam itu kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Kategorisasi dimensi pendidikan multikultur ini tidak mutual exclusive, boleh jadi ada dimensi yang tumpang tindih. Namun pengkategorisasian seperti ini sangat dibutuhkan untuk mempermudah konseptualisasi pendidikan multikultur.
Semua unsur-unsur tadi harus terlibat dalam membangun iklim multikultural di sekolah. Dalam kaitan dengan itu, semua unsur yang ada menjadi contoh multikultural yang dapat ditiru oleh anak didik di sekolah (Penulis, Dosen FKIP UNTAN)