
Sistem Integrasi Kelapa Sawit dan Sapi (SISKA) untuk Mengakselerasi Kebutuhan Daging di Kalimantan Barat
Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat mampu menjadi prime mover untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Banyak daerah-daerah di Kalimantan Barat yang perekonomiannya tumbuh karena berkembangannya agroindustri kelapa sawit. Produksi minyak sawit Indonesia 2022 akan naik signifikan karena pemeliharaan kebun yang lebih baik, cuaca yang mendukung dan harga yang menarik sehingga diperkirakan mencapai 49 juta ton untuk CPO dan 4,65 juta ton untuk PKO. Dengan komitmen pemerintah untuk melanjutkan program B30, konsumsi biodiesel diperkirakan sebesar 9,2 juta KL (Aprobi 2021) yang setara dengan 8 juta ton minyak sawit. Penggunaan sawit untuk oleokimia di 2021 diperkirakan sekitar 2 juta ton untuk domestik dan sekitar 4,5 juta ton untuk ekspor (Apolin 2021). Permintaan minyak nabati dunia akan sangat tergantung dari keberhasilan vaksin Covid-19. Keberhasilan program vaksin akan meningkatkan aktivitas ekonomi sehingga akan meningkatkan konsumsi minyak nabati termasuk minyak sawit. Selain itu, banyak negara yang karena alasan ekonomi terpaksa lebih terbuka. Ekspor minyak sawit Indonesia diperkirakan akan meningkat di tahun 2022 baik volume maupun nilainya. Penggunaan minyak nabati di dunia memberikan peluang baru bagi peningkatan produksi dari perkebunan kelapa sawit. Peningkatan produksi ini akan seiring dengan jumlah limbah kelapa sawit yang dihasilkan. Konsekuensi makin luasnya areal penanaman dan makin meningkatnya jumlah pabrik pengolahan buah kelapa sawit adalah makin meningkatnya produk samping industri kelapa sawit yang tentunya berdampak pada pencemaran lingkungan. Hal ini menjadi tantangan dalam pengolahan limbah dan memberikan potensi baru bagi dunia peternakan dalam pengembangan peggunaan limbah sawit untuk pakan ternak.
Kalimantan Barat dengan luas wilayah sebesar 147.307 km2 dan merupakan Provinsi terbesar ketiga. Kalimantan Barat memiliki luas perkebunan sawit 2.039.203 Ha pada tahun 2022, menempatkan Kalimantan Barat sebagai wilayah perkebunan sawit 3 besar di Indonesia, di bawah Provinsi Riau dan Sumatera Utara. Berdasarkan data BPS 2022 Kalimantan Barat memiliki populasi sapi 158.910 ekor terbesar di Kalimantan Barat, hal ini membutuhkan pakan dalam jumlah yang banyak baik secara kualitas maupun kuantitas. Salah satu potensi yang belum termanfaatkan dengan baik adalah system integrasi kelapa sawit dan sapi (SISKA) maupun pengembangan pemanfaatan limbah sawit sebagai pakan sapi di Kalimantan Barat.
Selama beberapa decade ini, peternakan sapi hanya diberi pakan seadanya, ragam dan jumlah pemberian sangat sedikit, kontinuitas kurang terjamin terutama di musim kemarau. Industrilisasi peternakan sapi sangat dipengaruhi oleh sumber pakan yang memenuhi kebutuhan gizi ternak, baik secara kualitas dan kuantitas dan harga yang murah, diperlukan dalam menjaga stabilitas produksi ternak sapi di Kalimantan Barat. Karenanya perlu mendorong dibuatnya pilot project SISKA yang mendukung rencana aksi nasional kelapa sawit berkelanjutan di Kalimantan Barat. Pogram SISKA merupakan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) adalah peluang yang dapat dikembangkan dengan optimal untuk menghasilkan nilai pembangunan kelapa sawit berkelanjutan. Pembangunan kelapa sawit berkelanjutan dapat merujuk pada 3 aspek penting yaitu ekonomi (profit), sosial (people) dan menjaga lingkungan hidup (planet), namun pelaku usaha cenderung hanya mempertimbangkan aspek ekonomi (profit). Aspek ekonomi hendaknya dijadikan suatu tolak ukur untuk menjadikan penghasilan bagi masyarakat yang mempunyai lahan perkebunan kelapa sawit, aspek sosisl merupakan suatu sistem yang harus selalu diperhatikan untuk menjamin dan menjaga kelangsungan hidup antara masyarakat dan juga lingkungan (khususnya lingkungan peternakan), aspek lingkungan hidup mencakup kesejahteraan masyarakat diantaranya dengan menjaga atau memberikan suatu permasalahan sosial diantaranya dengan rusaknya lingkungan sekitar.
Berdasarkan data dinas perkebunan dan peternakan Provinsi Kalimantan Barat memiliki potensi Lahan Perkebunan Sawit Kalimantan Barat denganluas lahan sebanyak kurang lebih 2 Juta ha (2022). Apabila asumsi 100 sampai 1000 Ha luas lahan sawit digunakan pilot project SISKA di beberapa wilayah di daerah Kalimantan Barat dan dengan asumsi 10% luas lahan sawit, beberapa tahun kemudian dilakukan replikasi pengembangan SISKA maka akan didapatkan luas lahan sebanyak 200 ribu ha, dengan kapasitas tamping ternak sapi sebanyak 50 ribu Ekor . Jika pembiakan sapi menghasilkan 50% bakalan sapi maka akan mampu mengurangi jumlah pembelian sapi dari JAWA sebanyak 25 ribu ekor.
Mendorong SISKA sebagai Pusat Pembibitan Sapi. Pemeliharaan ternak sapi di areal perkebunan dapat menggunakan sistem grazing yaitu ternak dilepas di areal perkebunan (tidak dikandangkan). Pemeliharaan dan perkembangbiakan ternak bisa ditangani dengan baik oleh peternak asalkan menggunakan pagar elekrik portable yang bisa dipindah-pindah antar blok di kebun sawit dan mampu menjadi pagar pembatas sehingga sapi tidak mengganggu aktivitas kebun sawit. Ternak hidup berkelompok-kelompok dan semua aktivitas ternak terjadi di areal perkebunan mulai dari mencari makan, istirahat, perkawinan, kebuntingan dan beranak. Peternak juga bisa mengetahui bahwa sapinya akan bertambah jumlahnya bila dilepas di areal perkebunan. Namun jika dilihat perkembangan populasi sapi di areal perkebunan, maka besar peluang untuk dapat ditingkatkan untuk menjadi sentra pembibitan. Kemampuan reproduksi merupakan produktivitas suatu peternakan dengan tujuan pembibitan. Parameter tingkat kesuburan sapi betina dapat dilihat dari tingkat pembuahan (conception rate) yaitu jumlah betina yang bunting dari 100 ekor sapi betina dan jumlah anak sapi yang mencapai umur sapih (205 hari) yang dinyatakan dengan persentase lepas sapih. Semakin tinggi presentase pembuahan (conception rate) dan lepas sapih dari kedua parameter ini semakin berhasil tujuan pembibitan. Sistem pemeliharaan di sekitar perkebunan kelapa sawit pada umumnya adalah untuk tujuan mendapatkan anak, untuk usaha pembibtan seyogianya pemerintah daerah harus merubah kebijakan untuk mengimpot ternak sapi betina dan jantan unggul untuk tujuan pengembangan sentra pembibitan sebagai sumber bakalan untuk keperluan penggemukan. Bioteknologi di bidang reproduksi tentunya dengan menerapkan inseminasi buatan. Keberhasilan IB di berbagai wilayah Indonesia yang telah memiliki UPT-BIB tidak diragukan lagi, meskipun di beberapa daerah pelaksanaan IB harus lebih didorong sampai pada tingkat swadaya (atas kesadaran peternak sendiri). Inseminasi tujuan merupakan sarana untuk menyebarkan potensi genetik unggul dari pejantan. Dimasa yang akan datang diharapkan masyarakat peternak sudah menggunakan bibit unggul hasil IB dari sapi sapi lokal yang disilangkan dengan sapi unggul turunan sehingga mempunyai harga jual tinggi. Sebagai program yang akan dikembangkan di area perkebunan, maka harus mempunyai jalinan kerjasama dengan instansi-instansi terkait yaitu perusahaan swasta, investor, lembaga penelitian dan instansi-instansi lintas sektoral.
Pengembang Grazing di perkebunan sawit dan Bioteknologi Pakan untuk Mendukung Sentra Pembibitan Sapi. Lahan perkebunan sawit menghasilkan rumput, legume yang dapat menjadi grazing (penggembalaan sapi). Produk hijauan antar tanaman (HAT) adalah vegetasi yang tumbuh liar di, baik yang tumbuh sebagai tanaman liar atau semak (tanaman pengganggu), rerumputan yang tumbuh seperti: Digitaria milanjiana, Stylosanthes guianensis Paspalum notatum, dan Arachisglabarata menghasilkan produktivitas tertinggi Spesies Digitaria milanjiana dan Stylosanthes guianensis menunjukkan toleransi yang baik pada umur tanaman kelapa sawit 4 tahun. Sementara spesies Paspalum notatum dan Arachis glabarata menunjukkan toleransi yang baik dengan semakin meningkatnya umur tanaman kelapa sawit (8 dan 12 tahun) dan invasi gulma semakin tinggi dengan meningkatnya umur tanaman kelapa sawit. Sedangkan ditanam dengan sengaja seperti tanaman penutup tanah (cover crops) kelompok leguminosa. Areal perkebunan kelapa sawit kaya akan berbagai leguminosa. Leguminosa di daerah tropis pada umumnya mengandung senyawa anti nutrisi seperti protease inhibitor, tanin, pitohemaglutini serta sinogenik. Tanaman leguminosa perdu seperti: gliricidia, kaliandra, Chromolaena odorata. Pemanfaatan bioteknologi pakan untuk menekan anti nutrisi merupakan alternatif yang sangat potensial untuk meningkatkan kemanfaatan gulma yang ada di areal perkebunan kelapa sawit sebagai pakan ternak.
Oleh:
Ir. DUTA SETIAWAN, S.Pt, M.Si, IPM
Dosen Fakultas Pertanian UNTAN
[learn_press_profile]