Berbelas Kasih
MENSIKAPI badai perubahan di era disruptif, revolusi industri 4.0, dan kehadiran generasi Z, The World Economy Forum (2017) merumuskan kemampuan dasar peserta didik, yakni: (1) literasi dasar, meliputi: reading, numeracy, scientific, information communication technology (ICT), finansial, cultural and civic; (2) kompetensi, meliputi: critical thinking/problem solving, creativity, communication, and collaboration; (3) kualitas karakter, meliputi: curiosity, initiative, persistence, adaptabiliy, leadership, social and cultural awareness.
Bapak Nadiem Anwar Makarim belum lama dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, ketika beliau melaunching merdeka belajar, sempat menyampaikan pentingnya kompetensi dasar berbelas kasih (compassion) sebagai satu indikator Sumber Daya Manusia Unggul untuk Indonesia Maju.
Penulis baru pertama kali mendengar kompetensi dasar “Compassion” tersebut. Untuk mengetahui lebih jauh, penulis berselancar mencari informasi tentang compassion di internet dan menemukan beberapa referensi terbaru.
Dari sumber pustaka tersebut, penulis baru mengetahui bahwa konsep compassion telah ada sejak lama (lebih dari 2.500 tahun lalu), tepatnya sudah ada sejak 551 tahun sebelum masehi dan bermakna lebih luas dari pada simpati dan empati.
Georgina Barton & Susanne Garvis (2019) dalam bukunya “Compassion and Empathy in Educational Contexts” mengatakan bahwa “Prinsip atau jantung dari berbelas kasih (compassion) terdapat pada semua agama, etik dan tradisi spiritual”, dan “tidak ada seorangpun yang sepenuhnya kosong dari berbelas kasih terhadap orang lain”, demikian Mencius seorang filosof mengatakan.
Bukti kecil dari kualitas kompetensi berbelas kasih masyarakat kita sebagaimana terjadi pada saat bangsa ini gencar-gencarnya melawan wabah virus corona, diantara bukti yang dimaksud: Stephen seorang mu’alaf menjual dua rumah dan asset lain miliknya, anggota masyarakat mengembalikan bantuan karena merasakan bantuan tersebut salah sasaran, seorang anak membuka celengan (tabungan) uang recehan untuk disumbangkan, siswa SMK di Jawa Tengah memproduksi Alat Pelindung Diri (APD) untuk disumbangkan kepada pemerintah daerah. Sebaliknya, tidak sedikit mereka mengambil keuntungan atas penderitaan orang lain, seperti kasus penipuan APD, masker disembunyikan setelah itu dinaikkan harganya, belum lagi penjualan masker palsu, bantuan sosial tidak disampaikan kepada mereka yang berhak menerimanya, sekalipun sudah mendapat bantuan, masih saja menuntut bantuan lebih banyak lagi sementara mereka tahu teman mereka belum mendapatkannya, semestinya mereka berbagi kasih.
Berbelas kasih (compassion) didefinisikan sebagai “the emotion one experiences when feeling concern for another’s suffering and desiring to enhance that person’s welfare”, dikutip dari Georgina Barton & Susanne Garvis (2019).
Sasha Zarins dan Sara Konrath mengatakan bahwa “berbelas kasih (compassion) merupakan suatu kesadaran akan penderitaan dan rasa sakit orang lain dan berupaya untuk meringankan penderitaan dan rasa sakit tersebut”, dikutip dari Emma M. Seppala (2017) berjudul “The Oxford Handbook of Compassion Science”.
Karen Amstrong (2013) dalam bukunya “Compassion” menyatakan, “Berbelas kasih (compassion) adalah menanggungkan bersama orang lain, menempatkan diri kita dalam posisi orang lain, untuk merasakan penderitaannya seolah-olah itu adalah penderitaan kita sendiri dan secara murah hati masuk ke dalam sudut pandangnya”.
Elemen dasar dari berbelas kasih adalah hubungan antara pemikiran dan penalaran sehat (reason), emosi (emotions) sebelum melakukannya. Maksudnya berbelas kasih tidak sebatas memperturutkan hawa nafsu dan perasaan semata. Dan jantung dari berbelas kasih adalah suatu rasa hormat terhadap orang lain.
Berbelas kasih (compassion) dimakna lebih dari sebatas atau sesederhana melakukan perbuatan baik atau perasan simpati dan empati, melainkan harus diikuti usaha (compassionate acts) untuk membahagiakan orang lain. Bunda Teresa mengatakan ukuran atau bukti dari berbelas kasih itu tidak pada perkataan atau khutbah, melainkan terletak pada tindakan atau perbuatan.
Pada awalnya, berbelas kasih tersebut bersumber dari “Kaidah Emas” yang diajarkan oleh guru bijak Cina Confusius, ratusan tahun sebelum masehi, ia menasehati kita, “Jangan perlakukan orang lain dengan cara yang tidak Anda inginkan untuk diri Anda sendiri atau perlakukan orang sebagaimana yang Anda inginkan untuk diri Anda sendiri”. Dengan kata lain, “Jangan pernah lakukan kepada orang lain apa-apa yang kau tidak ingin atau tidak suka mereka lakukan untukmu”. Anda tidak suka difitnah, maka jangan memfitnah. Anda tidak suka dibohongi, maka jangan membohongi. Anda tidak suka bersama orang sombong, maka Anda jangan sombong, demikian seterusnya.
Andrew Peterson (2017) dalam bukunya “Compassion and Education” mengatakan, “Berbelas kasih (compassion) merupakan sentral bagi moralitas”.
Karen Amstrong kembali mengatakan bahwa “Tugas utama kita di zaman ini adalah membangun sebuah komunitas global yang di dalamnya orang dapat hidup bersama dalam sikap saling menghormati; namun agama yang seharusnya memberi kontribusi besar dan bersikukuh tidak membatasi kasih sayang hanya kepada kelompoknya sendiri, melainkan harus memiliki kepedulian untuk semua orang bahkan musuh-musuhnya. Namun sayangnya, belakang ini kita sangat sedikit mendengar tentang berbelas kasih (compassion) diimplementasikan dalam kehidupan nyata di masyarakat. Faktanya, agama seringkali menjadi penyebab peperangan besar dalam sejarah dan pluralistik atau keharmonisan antar etnis (merasa nyaman dalam keberagaman) yang terbukti menjadi sumber kemajuan suatu bangsa ramai dibicarakan namun masih bersifat semu dan dusta, belum menjadi kepribadian sejati. Dalai Lama secara eksrim menyatakan, “Apakah seseorang pemeluk agama atau tidak, tidak terlalu menjadi masalah. Jauh lebih penting adalah bahwa mereka menjadi manusia yang baik”. Confusius menambahkan, “Jika seseorang berbuat baik, maka semua manusia di bawah langit akan membalas kebaikannya”.
Jika ingin menjadi bangsa yang besar untuk semua orang yang ada di dalamnya, maka kita perlu dengan segera menjadikan berbelas kasih (compassion) sebagai sebuah kekuatan yang jelas, bercahaya dan dinamis di dunia kita yang terpolarisasi. Berakar dalam tekad yang berprinsip mengatasi keegoisan. Berbelas kasih dapat menembus batas politik, dogmatis, ideologi dan agama. Ia lahir dari saling ketergantungan yang mendalam. Kasih sayang adalah penting bagi hubungan manusia dan bagi kemanusiaan yang paripurna. Ini adalah jalan menuju pencerahan dan sangat diperlukan untuk penciptaan ekonomi yang adil dan komunitas global yang damai.
Orang bijak mengatakn, “Jika ingin aman, bukan membangun tembok yang kokoh, melainkan membangun jembatan melalui berbelas kasih hati manusia yang suci dan tulus ikhlas”. Dalam prakteknya, mudah diucapkan, sulit dilaksanakan.
Karen Amstrong mengemukakan 12 (dua belas) langkah menuju hidup berbelas kasih (compassion), yakni: (1) belajar tentang belas kasih; (2) lihatlah dunia Anda sendiri; (3) belas kasih pada diri sendiri; (4) empati; (5) perhatian penuh; (6) tindakan; (7) betapa sedihnya yang kita ketahui; (8) bagaimana seharusnya kita berbicara kepada sesama; (9) kepedulian untuk semua; (10) pengetahuan; (11) pengakuan; dan (12) cintailah musuhmu.
Lembaga pendidikan: informal dalam keluarga, formal di sekolah dan perguruan tinggi, dan nonformal di masyarakat adalah tempat yang terbaik untuk menanam dan membentuk kompetensi dasar berbelas kasih. Brown (2015) dan Preston (2013) dalam risetnya membuktikan bahwa “perilaku orang tua menjadi landasan utama dalam pengembangan perilaku rendah hati (altruistic behaviors) anak-anaknya’, dikutip dari Emma M. Seppala (Penulis, Dosen FKIP UNTAN).
[learn_press_profile]