Pemimpin Perubahan
KOTTER (1997) dalam bukunya “Leading Change” mengatakan bahwa “perubahan yang sukses melibatkan antara 70% hingga 90% kepemimpinan. Kurangnya kepemimpinan membuat tidak adanya kekuatan untuk mengatasi berbagai kekacauan dan ketidakpastian di dalam organisasi”.
Charles Maurice de Telleyrand, seorang diplomat Prancis mengatakan, “Seratus kambing yang dipimpin oleh seekor singa akan lebih berbahaya atau lebih menakutkan dari pada seratus singa yang dipimpin oleh seekor kambing”.
Larry Greiner, penggagas Dynamic Model of Organizational Social Structure dalam sebuah artikelnya berjudul “Evolution and Revolution as Organizations Grow” sebagaimana dikutip dari Harvard Business Review, Edisi 1991 bertema “Management of Change”, mengatakan bahwa “perubahan organisasi mengalami lima tahapan yang bersifat konstan. Keberhasilan perubahan pada tahapan awal atau fase ke-1 mempengaruhi perubahan pada tahapan berikutnya. Selain itu, setiap tahapan perubahan organisasi memiliki ciri atau karakteristik perubahan tersendiri dan menghadapi krisis yang berbeda. Namun para ahli sependapat bahwa pada tahapan pertama perubahan memerlukan kepemimpinan inovatif dan kreatif.
Dean Anderson dan Linda Ackerman Anderson mengatakan “Untuk memperoleh hasil terobosan melalui transformasi dibutuhkan pemimpin yang paham akan dinamika perkembangan manusia dan proses yang menyertainya”, dikutip dari Rhenald Kasali (2015) dalam bukunya “Change Leadership”.
Di bagian lain, Rhenald Kasali mengatakan bahwa pemimpin perubahan melakukan perubahan secara radikal yang dampak/hasil dari perubahan tersebut baru terlihat jangan panjang. Ia menyebutkan terdapat 7 (tujuh) orientasi pemimpin perubahan, yakni: (1) berjangka jauh ke depan; (2) memerlukan proses dan perjuangan; (3) menghadapi tekanan dan cemoohan; (4) jalan berliku penuh hambatan. Mengutip pernyataan presiden Amerika Serikat John F. Kennedy, “Suatu bangsa tidak akan berubah menjadi besar, kecuali bangsa itu akan melakukan hal-hal yang sulit; (5) menghadapi persoalan ketidakpastian; (6) menghadapi sejumlah kendala dengan segala keterbatasan; dan (7) memberi harapan dan kadang rasa frustrasi.
Bagi seorang pemimpin baru, mewujudkan dirinya menjadi pemimpin perubahan sangat dilematis karena kinerjanya tidak bersifat instant atau siap saji sementara masyarakat atau konstituennya yang memilih dan/tidak memilihnya menuntut bukti dan janji saat ia berkampanye. Masyarakat tidak mau tahu betapa sulitnya pemimpin baru menterjemahkan visinya ke dalam realitas.
Joh R. Ketzenbach (1998) dalam bukunya “Real Change Leaders” mengemukakan ciri utama atau terpenting dari pemimpin perubahan sejati adalah, seorang pemimpin yang rela, mampu bertahan hidup dan menang di masa sulit atau “Masa Delta”. Semua cobaan, fitnah, tantangan dan sejenisnya harus diasumsikan dan diyakini oleh setiap pemimpin perubahan sejati sebagai malaikat yang menjemput si pemimpin perubahan sejati agar ia menjadi lebih kuat, kokoh, bersinar, dan bersayap, dan jangan sebaliknya, berfikir negatif atas kedatangannya.
Rhenald Kasali (2015) menegaskan bahwa “di negara yang “sakit”, pada era yang masih diliputi kegelapan, nasib para pemimpin perubahan sungguh-sungguh kurang beruntung, sebagaimana dialami Galileo Galilei seorang astronom, filsuf dan fisikawan Italia yang memiliki peran besar dalam revolusi ilmiah. Mahatma Gandhi pejuang tanpa kekerasan tewas dibunuh dengan tembakan dari jarak dekat. Gandhi telah menginspirasi lahirnya pemimpin perubahan seperti Nelson Mandela di Afrika Selatan, Martin Luther King di Amerika Serikat, Dalai lama di Tibet dan fisikawan modern Albert Einstein, nasehat Mahatma Gandhi yang menusuk ke dalam batin mereka “Jadilah bagian dari perubahan yang ingin kamu saksikan di dunia ini”.
Contoh kasus di atas mempertegas bahwa setiap pemimpin perubahan selalu mendapat (tidak pernah sepi) dari ancaman, baik dari kalangan internal maupun ekternal, dan jumlah mereka para pembangkang (laggard) tersebut sangat besar melebihi jumlah mereka (early adopter) yang sejak awal mendukung perubahan yang dilakukan oleh pemimpinnya.
Di era perubahan yang semakin cepat, tidak linear, tidak pasti atau tidak menentu dan tidak dapat diramalkan, kita sangat memerlukan kehadiran pemimpin perubahan yang mempunyai visi besar, visi yang jauh ke depan, pemimpin yang mampu menyiapkan Sumber Daya Manusia yang mampu beradaptasi dan responsif menghadapi perubahan. Pemimpin perubahan yang terus bergerak, tidak pernah berhenti dan tidak meninggalkan gelanggang, ia selalu pada sebuah slogan “Change Leaders Never Stop, Never Quit”.
Semestinya dari pikiran dan hati seorang pemimpin perubahan lahir ide-ide foundamental, strategis, adaptif, kreatif dan inovatif untuk keberlangsungan hidup organisasi dan kesejahteraan para pengikutnya. Mereka sadar bahwa apa yang hari ini menjadi sumber kekuatan, besok dan dikemudian hari belum tentu menjadi kekuatan lagi.
Namun sayangnya, banyak pemimpin pada saat ini belum mencapai derajat pemimpin perubahan dimana mereka lebih sibuk memikirkan diri dan kelompoknya sementara masyarakatnya tetap saja menjadi pelengkap penderita. Pikiran, perasaan dan energinya disibukkan dan dihabiskan untuk urusan yang kurang penting dimana urusan tersebut cukup ditangani oleh para teknisi atau level manajemen terendah. Contoh kasus, di saat angka stunting masih sangat tinggi di daerahnya dampak dari kurangnya usapan gizi dan tingginya angka putus sekolah, seorang bupati sempat-sempatnya berpikir mengganti seragam ibu PKK yang katanya selama ini belum pernah diganti, apa relevansinya seragam ibu PKK dengan percepatan pembangunan desa, masih sempat direpotkan mengurus arisan karyawan di kantornya. Belum lagi, banyak pemimpin senang membangun kuburan tempat menyimpan jasat orang yang sudah mati, seperti membangun pagar dan tembok, tidak membangun jembatan yang sangat diperlukan masyarakat untuk saling berkomunikasi dan bertegur safa. Meminjam istilah dari Lee Kuan You seorang pemimpin Singapura, mereka lebih asyik membangun “Monument Mati”, seperti halnya membangun patung yang sangat tidak dianjurkan bagi pemimpin perubahan, sementara pembangunan manusia yang masih hidup dan ingin menatap masa depannya lebih baik atau lebih sejahtera dan bahagia justru diutamakan, tidak diabaikan, misalnya membangun pendidikan bermutu untuk semua.
Charles Faurier seorang socialist Prancis mengatakan, “Silakan kamu menjadi pemimpin dunia, untuk membangun satu dunia yang di dalamnya setiap orang hidup berbahagia”.
Barangkali ada diantara pembaca yang setiap saat menyaksikan perubahan yang semakin cepat, tidak terduga, tidak pasti dan tidak menentu ini hampir saja tidak nyenyak tidur setiap harinya, namun tetap tersenyum pertanda masih adanya optimisme, terobosan apa lagi yang harus dipikirkan dan dilakukan agar kehidupan lebih baik lagi (Penulis, Dosen FKIP UNTAN).
[learn_press_profile]